Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | Instruktur Pelatihan Orangtua di 18 propinsi, 60 kota di Indonesia
inspirasipspa@yahoo.com
Mengapa
ada yang begitu saja mudah nurut pada orangtua sementara yang lainnya
tidak nurut? Mengapa ada anak yang orangtuanya berkata “tidak” sekali
saja bahkan sambil senyum lalu anaknya tidak nangis, tidak teriak dan
tidak guling-guling meski orangtuanya menolak untuk memberikan mainan
atau es krim?
Mengapa ada anak yang bisa taat pada aturan yang telah dibuat tapi ada anak yang lain tidak menaatinya?
Ada
banyak orangtua yang curhat pada saya bahwa mereka sudah memberi aturan
tapi anak terus melanggar aturan tersebut. Mari kita perhatikan salah
satu contoh dari curhat salah seorang orangtua berikut:
“Abah
mohon saran dan solusinya. Saya ibu dari 2 orang putri. Anak pertama
mau 5 tahun dan anak kedua umur 1 tahun. Saya mengalami sedikit masalah
dengan si sulung. Dia tipe yang agak susah dibangunkan. Kalau waktunya
ngaji, banyak alasan. Kebetula sekolahnya di tempat sendiri yang ngajar
juga sendiri. Hambatan di sekolah kadang dia nggak nurut aturan. Waktu
teman-temannya sholat dia malah sibuk sendiri. Waktunya belajar dia
kadang seenaknya sendiri. Istilah orang Jatim sih katanya “mbulet”.
Padahal
kalau waktunya sekolah perhatian saya kan terbagi dengan teman-teman
dia. Maunya dia diperhatikan saya terus. Kadang saya geregetan ngelihat
tingkah polahnya sampai kemarin karena nggak tahan dengan sikap
mbuletnya saya kelepasan mukul dia. Selanjutnya hati saya menangis bah,
merasa diri saya belum menjadi orangtua yang baik. “
Maka,
akan saya tanggapi lebih lengkap disini. Anak-anak yang tidak taat
aturan disebabkan setidaknya beberapa faktor besar dan jika Anda
menginginkan anak taat aturan, atasai penyebab-penyebabnya ini.
1. Aturannya berlebihan, terlalu tinggi, tidak sesuai usia anak
Contoh,
melatih anak batita untuk membereskan mainan setelah bermain adalah
positif. Tetapi menetapkan aturan membereskan mainan sebagai kewajiban
untuk anak batita adalah berlebihan. Sebab, mereka belum dapat memahami
abstraksi dari tanggung jawab. sedangkan konsep berpikir mereka masih
konkrit dan sederhana. Melatihnya boleh, tapi memaksanya untuk
membereskan mainan sebagai sebuah aturan adalah berlebihan.
Atau
contoh lain, meminta anak balita untuk sabar, padahal telah menunggu
orangtua 2 jam ngobrol dengan temannya, tanpa balita ini melakukan
kegiatan apapun juga berlebihan. Rentang pikiran dan waktu anak-anak
balita sangat pendek. Maka adalah hal yang normal jika anak balita cepat
bosan atau merasa pusing, capek, dan akhirnya rewel jika harus
“nungguin” orangtuanya yang ngobrol dengan temannya selama 2 jam atau
lebih tanpa melakukan kegiatan apapun.
Hal lainnya,
kadang, sebagian orangtua makin sulit mengendalikan anak karena orangtua
terus berfokus pada perilaku anak bukan pada kebutuhan anak. Saat anak
rewel, sebagian orangtua terus-terus berusaha berkata “jangan rewel
terus dong” dan bukan mencari sebab mengapa anak rewel? Apa sih yang
anak butuhkan sehingga dia jadi rewel?
2. Tidak Melibatkan Anak
Ini
hukum universal dari pengambilan keputusan: seseorang akan lebih
benergi jika dia melaksanakan keputusan yang dibuatnya sendiri.
Seseorang akan sangat sulit memerangi keputusan yang dibuatnya sendiri.
Pun
demikian anak-anak, pada saat anak sudah dapat diajak bicara,
batasan-batsan, aturan-aturan, konsekuensi dan seterusnya yang terbaik
adalah yang melibatkan anak dalam pengambilan keputusan tersebut. Anak
akan lebih bertenaga melakukannya. Anak akan malu jika tidak
melakukannya. Anak akan lebih terpacu melakukannya. Lihat surat
As-Shoffat seperti yang jelaskan dalam Pelatihan Orangtua PSPA tentang
karunia Shoffat.
Mengajak anak bicara tidak berarti kita
menuruti semua yang anak inginkan. Mengajak anak bicara berarti membuka
ruang ide dari anak yang rasional dan penerimaan lebih mudah untuk anak.
“Menyimpan handuk itu pada tempatnya. Jika tidak pada tempatnya, handuk
itu bisa cepat kotor, lembab dan akhirnya jamuran. Yang rugi kamu
sendiri kan? Coba kasih tau Mama, apa yang ingin kamu lakukan agar kamu
selalu ingat untuk menyimpan handuk pada tempatnya?”
Mengajak
anak bicara berarti mencari solusi-solusi konkrit dan solutif untuk
menyelesaikan masalah-masalah dari perilaku anak sebelum mengedepankan
hukuman-hukuman.
Atau contoh lain “Kalau mama lagi di
Supermarket, kadang Mama harus memilih belanjaan yang banyak jadi butuh
waktu banyak. Kalau kamu ikut Mama ke supermarket, berarti kamu harus
menunggu. Nah biar kamu tidak bosan saat menunggu, kasih tau mama, ada
ide tidak biar kamu tidak bosan”.
3. Tidak disertai konsekuensi
Setiap
aturan agar ditaati membutuhkan konsekuensi. Aturan tanpa konsekuensi,
bagaikan macam tanpa gigi. Aturannya sudah dibuat, tapi tanpa disertai
konsekuensi, ya tidak punya kekuatan apapun. Misalnya, membatasi anak
nonton tv 2 jam sehari. Lalu tidak ada konsekuensi apapun jika anak
melebihi batas yang sudah ditentukan? Apa yang kira-kira terjadi.
Anak-anak akan terus melanggarnya. Bahkan ada konsekuensi saja
dilanggar, apalagi tanpa ada konsekuensi.
Jika tidak ada
konsekuensi, saat anak melanggar batas nonton tv, apa yang akan orangtua
lakukan? Ngomel lagi, lagi dan lagi. “Harus berapa kali mama bilang,
nonton tv itu nggak boleh lama-lama!” atau “Kamu dengar nggak sih mama
ngomong?” atau “kenapa sih kalian nggan patuh sama aturan yang mama
buat?”
Berbeda jika ada konsekuensi, meski tidak otomatis
membuat anak langsung taat (karena bergantung konsistensi kita
orangtua), maka anak akan merasa kerugian jika mereka mencoba
melanggarnya. Nonton tv boleh, batasannya 2 jam, itu aturan.
Konsekuensinya misalnya, yang melanggar batasan, melebihi 1 menit saja
dari waktu yang sudah ditentukan, maka hak nonton tvnya dicabut selama 2
hari. Ini memiliiki perbedaan dengan aturan yang tidak memiliki
konsekuensi sama sekali.
Contoh lain, anak berleha-leha
bangun, malas-malasan bangun. Sudahkah ditentukan aturan paling lambat
jam berapa bangun? Lalu bagaimana pula cara membangunkan anak? Jika
membangunkan anak dengan teriakan, kepusingan, ketergesa-gesaan,
tekanan, itu hanya akan membuat anak tertekan dan akibatnya malah pusing
dan tambah rewel. Tapi berbeda jika membangunkan anak dengan cara yang
membuat dia exciting bangun: didengarkan musik, bunyi-bunyian yang
menyenangkan, didengarkan suara-suara Qur’an, diajak bicara, ngobrol
tentang kesukaannya, dst. Lalu dilengkapi dengan ketegasan,
konsekuensi-konsekuensi jika bangun melebihi jam sekian. Dst..
4. Inkonsisten
Ketidakpercayaan
akan menyulitkan seseorang untuk melaksanakan apa yang diminta.
Orangtua yang berbohong pada anak, orangtua yang inkar janji pada anak
adalah orangtua-orangtua yang tidak akan pernah mudah lagi dipercaya
anak perkataannya.
Orangtua yang melegalkan bohong dan
inkar janji pada anak adalah orangtua yang tidak konsisten antara
perkataan dan perbuatannya. Bagaimana mungkin akan mempercayai dan
mematuhi orangtua sementara perkataan orangtua sendiri tidak bisa
dipegang?
Kata siapa berbohong pada anak itu boleh dan
legal (tidak dosa?). Ulama mana yang menyebutkan berbohong dan inkar
janji pada anak itu adalah hal yang mubah atau diperbolehkah? Tak satu
pun bukan?
Perilaku tidak konsisten orangtua dimulai dari
hal sepele seperti saat anak ingin beli mainan waktu berkunjung ke
supermarket, lalu orangtua menolaknya. Saat ditolak orangtua, apakah
anak-anak akan langsung nurut begitu saja? Tidak dong! Ia akan mencoba
“berikhtiar” untuk terus mewujudkan keinginannya. Ikhtiar anak yang
paling minimum adalah memasang muka cemberut, merengek dan menangis.
Lalu
apa yang orangtua lakukan saat anak cemberut, merengek dan menangis?
Jika orangtua memberikan apa yang diminta anak padahal tadi menolaknya
“ya sudah sekarang boleh, nanti lagi nggak boleh kayak gitu. Kalau nanti
seperti itu lagi, mama tinggal lho!”
Apakah di masa yang
akan datang perkataan orangtua seperti itu membuat anak tidak akan
mengulanginya lagi? Dijamin 100% justru orangtua sendiri yang mengundang
anak mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Bahkan saat di waktu lain
orangtua berusaha konsisten, justru anak menambah “kualitas ikhtiar”
untuk mewujudkan keinginannya, tidak hanya menangis tapi juga:
berteriak, melengking, selonjoran di lantai, guling-guling, melempar
barang, memukul orangtua. Dan ketika orangtua tidak tahan akhirnya
orangtua mengatasinya dengan dua cara shortcut: mencubit anak hingga
berhenti atau memenuhi keinginan anak yang tadi ditolaknya (lagi).
Mencubit
anak mungkin berbahaya, tapi tahukah parents, justru yang kedua:
memenuhi keinginan anak yang tadinya kita tolak, justru jauh lebih
berbahaya! Sejak saat itu, anak tidak mudah lagi bisa mempercayai apapun
yang dikeluarkan oleh lisan orangtuanya. Akhirnya mengundang upaya
orangtua lebih keras. Akhirnya orangtua pun dipancing untuk melakukan
tindakan lebih keras: semakin sering membentak, semakin sering mengancam
anak dan semakin sering menghukum anak.
Karena pengalaman
anak yang seperti ini pula, tidak jarang saya menemukan kejadian,
seorang guru di sekolah lebih sulit mengendalikan anaknya sendiri yang
di sekolah tempat dia mengajar dibandingkan mengendalikan anak lain.
Atau seorang ustadz/ustadzah yang mengajar ngaji, lebih mudah
mengendalikan santrinya yang lain dibandingkan anaknya sendiri.
Atau
kalau pun Anda bukan guru, sebagian anak yang orangtuanya bukan guru,
justru lebih mempercayai gurunya sendiri dibandingkan orangtuanya.
Pernahkah Anda mendengar orangtua yang menakuti-nakuti anaknya karena
tidak nurut dengan perkataan semacam ini “Mama bilangin lho sama Bu
Guru, kalau kamu nggak mau mandi?” Dan sekonyong-konyong ada anak yang
langsung nurut begitu saja ketika orangtua ‘menjual’ gurunya agar anak
nurut.
Mengapa ada anak yang lebih menuruti perkataan
gurunya daripada orangtuanya? Ya penyebab terbesar adalah bahwa gurunya
memang punya kredibilitas lebih dibandingkan orangtuanya. Bukan soal
kredibilitas kompetensi ilmu, bukan, bukan itu. Tapi lebih kepada
kredibilitas konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Anak-anak yang
lebih mudah nurut gurunya daripada orangtuanya pastila anak-anak yang
memiliki pengalaman inkonsisten sebelumnya dengan orangtuanya.
Jika
Anda seorang guru, maka jika sudah ‘terlanjur’ anak punya pengalaman
inkonsisten dengan orangtuanya, usul Abah, adalah hal lebih baik jika
kemudian anak kita ‘dimutasi’ di sekolah lain atau di tempat lain. Jika
Anda orangtua yang mengalami kejadian anak yang lebih nurut gurunya,
saatnya untuk introspeksi. Anda harus merasakakan “sakit hati” dalam
artian positif. Dalam artian bagaimana caranya anak justru harus mulai
lagi nurut dan percaya dengan orangtuanya dibandingkan dengan siapapun.
Mulai
hari ini jangan pernah lagi berbohong pada anak. Jangan sembarangan
mengumbar janji untuk sekadar meredakan kerewelan anak jika Anda tidak
berniat benar-benar mewujudkan janji itu.
5. Ketidaktegasan
Aturan
dan batasan sudah disepakati, konsekuensi sudah disiapkan dan orangtua
pun tak pernah berbohong dan inkar janji. Apakah anak langsung nurut
begitu saja saat orangtua berusaha menghentikkan perbuatan buruk anak
melalui nasihat dan perkataan?
Modal besar agar anak-anak
kita dapat taat aturan dan batasan-batasan terhadap nilai-nilai yang
kita anut di keluar agalah: ketegasan! ? Tanpa ketegasan, aturan hanya
semacam formalitas semata. Terlalu banyak Peraturan Daerah (perda) hanya
sampai diputuskan, tapi berapa banyak yang dilaksanakan?
Sebagai
contoh banyak kota besar di Indonesia punya perda larangan merokok di
tempat umum. Jakarta, Bandung, dst. Silahkan Anda tunjukkan kepada saya,
mana yang dilaksanakan? Ketika tidak disediakan perangkat untuk
menegakkan perda itu, maka tidak akan pernah ketegasan. Ketika tidak ada
ketegasan, maka jangan harap masyarakat mau melaksanakan.
Saya
sering bertanya kepada peserta seminar dan pelatihan yang sering saya
lakukan dan akan saya tanya juga kepada Anda: menurut Anda, sebagian
besar orang disiplin atau tidak? Berlalu lintas, membuang sampah, atau
perilaku-perilaku yang berhubungan kepentingan publik lainnya sejenis
ini?
Terserah Anda, tidak tahu bagaimana pendapat Anda.
Yang jelas, ketika saya tanyakan ini kepada ribuan orang. Jawaban hampir
100% dari mereka adalah: sebagian besar orang Indonesia tidak disiplin!
Saya
tidak setuju dengan pendapat ini. Menurut saya, Anda boleh tidak setuju
tentu, sebagian besar orang Indonesia sangat disiplin. Tapi, ada
tapinya, ketika berada di Jepang, ketika orang Indonesia berada di
Singapura. Hehehe.
Ih maafkan saya jika dianggap tidak
serius. Tapi sungguh saya serius. Mengapa ini terjadi? Mengapa orang
Indonesia jika di luar negeri justru jadi bisa disiplin? Di sana ada
aturan? Di Indonesia memang tidak ada? Di luar negeri ada konsekuensi?
Memangnya setiap undang-undang dan perda yang dibuat di Indonesia tidak
disediakan konsekuensinya? Ada lho! Budaya dan lingkungan orang luar
negeri sudah bagus? Lho yang membentuk budaya dan situasi lingkungan itu
siapa sih? Jadi kita menunggu kita sendiri dibentuk budaya dan
lingkungan yang lagi tren?
Ya sudahlah, saya tak mau
bicara soal yang muluk-muluk ngurus negara. Saya hanya mau memberi
contoh saja untuk kita gunakan untuk menguru keluarga. Tanpa ketegasan
orangtua tidak mungkin dipatuhi anak. Tapi ketegasan tidaklah sama
dengan kekerasan, ketegasan tidaklah sama dengan banyak ngomong.
Penyakit
orangtua saat anak berbuat buruk adalah banyak ngomong, banyak bicara
dan akhirnya jadi banyak emosi. Pertanyaan seberapa efektif omongan dan
nasihat akan didengarkan anak untuk menghentikkan perbuatan buruk
mereka?
Justru yang terjadi adalah, jika kita hanya
ngomong doang, energi kita akan terkuras dan kita jadi stress sendiri
karena memang kenyataannya hanya kurang dari 10% anak2 saat berbuat
buruk lalu dihentikan dengan omongan akan berhenti. Akibatnya, banyak
orangtua terus-terusan ngomelin anak "harus berapa kali sih mama
bilang?! kamu denger gak sih? Nyimpen sepatu itu pada tempatnya!"
Dan
mungkin, karena banyak ngomong, kita akan menyesal dengan
omongan-omongan kita. Sebab saat tengah emosi, omongan kita akan
kemana-mana.
Jadi apa yang harus dilakukan? Banyak
bertindak, dan bukan banyak ngomong! Saat anak berbuat buruk rumusnya
adalah banyak bertindak dan bukan banyak bicara. Sebaliknya, saat anak
beruat baik, banyak bicara adalah positif.
Tindakan
seperti apa? Berikan aturan yang jelas dan berikan konsekuensi yang
jelas lalu tegakkan! Tegakkan aturan berarti, Anda tega, tegas,
istiqomah dan konsisten dan tidak terpengaruh dengan tangisan,
kerewelan, rajukan, intimidasi anak saat anak mencoba menegakkan aturan
itu.
Ketika kita menegakkan aturan, tidak ada istilah
“cinta damai”, jika melanggar bisa damai! Dengan sogokan dan lain-lain.
Pun demikian juga pada anak "kamu setuju tidak hukuman yang mama
berikan?" Meski anak menolak, jika sudah di awal dikomunikasikan,
disosialisasikan, maka tegakkan! Karena itu ketegasan berarti penerapan
konsekuensi tidaklah bergantung pada penolakan atau persetujuan anak.
Mana
ada anak yang mau dihukum? jangankan anak, tidak ada satu pun manusia
dewasa yang mau dihukum. Ketika polisi menilang orang yang melanggar
lalu lintas tidak mungkin polisi memberi penawarn semacam ini "Anda
ikhlas saya tilang?" atau ketika penjahat dipenjara pengadilan gak
mungkin meminta persetujuan penjahat untuk memenjarakan dia. Atau Tuhan
kita saat di pengadilan akhirat kelak, akankah berkata pada kita
“bagaimana manusia, apakah kalian bersedia dimasukkan ke neraka?”
Karena
itu, saat anak menolak diberikan hukuman tentu saja adalah hal yang
normal. Tak ada satu pun anak yang mau menerima denga ikhlas dihukum
sebagaimana kita tak ada satu pun yang mau ikhlas membayar denda tilang,
dst. Tapi itulah fungsi kita orangtua untuk menegakkan rule of the
games di keluarga. Fungsi rule kadang memang harus memaksa meski tidak
semuanya dengan cara memaksa. Karena itu, ketika anak menolak, penerapan
konsekuensi sama sekali tidak bergantung dari disetujui atau ditolak
anak. Ketika kita menerapkan “no go outside” karena anak melanggar
sebuah kesepakatan, ya kunci pintu rumahnya, meski anak menangis,
menolak, ya biarkan.
Ketika kita menerapkan no watching
tv, ya matikan tv, sita kabelnya meskipun anak sampe meraung, bahkan
menghancurkan tv tetap tidak ada tv. Cuma klo sudah merugikan
penolakannya, seperti sampai merusak tv, anak harus diberikan
konsekuensi tambahan lebih berat.
Tapi ini hanya bagian
kecil untuk menghentikkan perbuatan buruk anak. Bagian besar bukanlah
pada soal reward and punishment. Jika hanya mengelola reward punishment,
percayalah hubungan orangtua dan anak akan garing! Bagian besar lain:
bonding orangtua dengan anak, kerelaan waktu orangtua untuk
menginstallkan fikroh anak dengan nilai-nilai baik, adalah hal-hal lebih
besar lain yang dilakukan untuk anak agar mau berbuat baik dan semakin
terhindar dari berbuat buruk. Tapi ini bukan bagian dari tulisan ini.
Silahkan Anda baca artikel-artikel lain yang saya buat atau di buku-buku
saya. Insya Allah bagian lain ini juga sering dibahas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar